"God may be subtle, but He is not malicious" - Albert Einstein
Pada bagian pertama tulisan ini, kita mencoba untuk mengenali instrumen yang membentuk manusia dalam upayanya untuk mengenali alam ini dan mencukupi kebutuhannya, lewat hati, pikiran dan akal.
Pada bagian kedua, kita diajak untuk mengetahui bahwa logika berpikir bisa saja salah dalam memahami alam semesta ini. Hal inilah yang mendorong manusia mulai dari berjuta-juta tahun yang lalu untuk merangkai sebuah ilmu pengetahuan, mempertanyakan alam ini, menguji dan menelaah apa yang telah diketahuinya sesuai dengan lingkup horizon dari apa yang bisa dia jangkau. Maka, ilmu pengetahuan itu mekar hingga mencapai peradaban seperti saat ini. Seabad yang lalu, orang menghabiskan berhari-hari hingga berbulan-bulan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Namun, saat ini, kita telah berhasil mengembangkan pesawat yang mampu memindahkan orang hingga dalam hitungan jam.
Pada bagian ketiga, kita mencoba untuk melihat berbagai macam perjalanan hidup seorang manusia. Setiap manusia menjalani kehidupan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Hal ini serta merta akan membuat kepribadian setiap orang juga akan menjadi berbeda-beda. Di tengah kesemuanya itu, satu persamaan yang ingin diungkap oleh sang penulis adalah semua manusia memiliki satu sisi kerinduan dan kemesraan akan satu hal yang sama, yakni rasa ketenangan dalam hidup. Hal inilah yang sekaligus menjawab muara dari segala hal yang coba kita usahakan dalam hidup ini. Rasa ketentraman adalah sebuah kondisi hidup, bisa dirasakan tetapi tak kasat mata.
Pada bagian keempat, kita diajak untuk memahami bahwa didalam hidup, dalam kaitannya kita bereaksi dengan apa yang ada diluar kita, timbullah sebuah pengalaman. Berbagai macam pengalaman tentu saja akan membentuk persepsi kita akan sesuatu. Hal ini pastilah akan mempengaruhi terhadap segala putusan yang akan kita ambil terhadap sebuah peristiwa. Maka, peristiwa yang sama, akan memberikan respon yang sangat berbeda-beda. Disinilah peran ilmu pengetahuan untuk bisa merespon dengan baik sehingga terhindar dari pembuatan keputusan yang salah, yang akhirnya bisa membuat pandangan kita menjadi bias. Hal ini yang jika dibiarkan bisa mempengaruhi persepsi kita.
Satu hal paling penting yang dimiliki oleh manusia dalam menghadapi segala sesuatu adalah merasakan adanya sebuah pilihan. Pilihan yang bukan berdasar keinginan. Pilihan yang bukan atas dasar suka atau tidak suka.
Mari kita simak sebuah cuplikan roman karangan Tolstoy yang berjudul "War and Peace"
When an apple has ripened and falls, why does it fall? Because of its attraction to the earth, because its stalk withers, because it is dried by the sun, because it grows heavier, because the wind shakes it, or because the boy standing below wants to eat it?
Nothing is the cause. All this is only the coincidence of conditions in which all vital organic and elemental events occur. And the botanist who finds that the apple falls because the cellular tissue decays and so forth, is equally right with the child who stands under the tree and says the apple fell because he wanted to eat it and prayed for it. Equally right or wrong is he who says that Napoleon went to Moscow because he wanted to, and perished because Alexander desired his destruction, and he who says that an undermined hill weighing a million tons fell because the last labourer struck it for the last time with his pickaxe. In historic events the so-called great men are labels giving names to events, and like labels they have but the smallest connection with the event itself.
Every act of theirs, which appears to them an act of their own will, is in an historical sense involuntary, and is related to the whole course of history and predestined from eternity.
===================================================================
Segala sesuatu yang ada di dunia ini pastilah memiliki sifat. Sesuatu yang khas yang dimiliki. Sifat akan menentukan jenis peristiwa. Diatas, kita mengetahui sebuah peristiwa apel yang jatuh.
Jatuhnya apel bisa merepresentasikan suatu hal yang besar. Bisa juga menyangkut hajat hidup orang banyak. Maka, suatu kejadian itu, banyak orang yang menafsirkannya dengan bermacam-macam hal. Ini akibat latar belakang orang yang berbeda-beda. Ada yang menciptakan teori. Maka, jika teorinya bisa diterima secara logis, ia bisa menjadi ilmu pengetahuan. Ada juga yang mengatakan bahwa apel jatuh karena ia berdoa kepada Sesuatu yang lebih berkuasa terhadap dirinya supaya apel dijatuhkan.
Ketika berbagai macam anggapan tersebut dipertemukan, maka akan terjadi sebuah kebingungan karena setiap orang memiliki anggapan yang berbeda antar satu dengan yang lainnya. Perdebatan akan muncul jika ada yang beranggapan bahwa menurut keyakinannya, ia lebih benar daripada yang lain. Lebih jauh lagi, jika sudah disangkut-pautkan dengan harga diri.
Segala sesuatu yang ada di alam ini, tidaklah peduli ataupun bersifat memaksa kepada manusia. Lihatlah bumi yang selalu bergerak menciptakan siang-malam tanpa suruhan manusia, dan pergerakan siang-malam tidak bisa mempengaruhi manusia apakah ia sudi tidur di malam hari atau tidak. Artinya, segala sesuatu dialam ini hanya bernilai, jika manusia memberikan tegas terhadap sebuah peristiwa. Apel yang jatuh, tidak akan bernilai jika manusia tidak memberikan penafsiran. Lebih jauh lagi, apel tidak akan dianggap apel jika tidak dinilai apel, bisa jadi ia dinilai mangga. Maka, kenapa kita menjadi terfokus pada sebuah peristiwa sampai menguras diri kita jika antara sesuatu yang ada di alam ini dengan manusia sama-sama tidak saling mempengaruhi? Kalaupun ada pengaruhnya, hanyalah sesuatu yang hanya bisa dijangkau.
Maka, manusia itu lebih agung dari segala yang ada di dunia ini atas kehendaknya.
Jika apel yang jatuh ini kita nilai adalah keinginan kita, entah disukai maupun tidak disukai. Pada akhirnya, ia akan banyak menyedot perhatian kita. Berbagai macam teori kita hasilkan, doa kita panjatkan. Kita menjadi lupa bahwa disebelahnya, kita luput memperhatikan bahwa ada juga apel yang tidak jatuh. Maka, kita kaget dan heran kalau ternyata ada apel yang tidak jatuh. Ini adalah sebuah pilihan, sesuai sifatnya apel berhak jatuh maupun tidak. Terlalu lama kita menciptakan teori dan berdoa supaya apel jatuh dan terlambat menyadari bahwa jatuh tidaknya apel adalah sebuah pilihan juga. Jika demikian, manusia bisa menganggap jatuhnya apel ataupun tidak sebagai sesuatu yang sewajarnya. Tidak ada rasa takut atau khawatir jika apel tidak jatuh. Maka, hati akan mencapai ketenangannya.
Bagaimanapun, perjalanan manusia adalah bagaikan sebuah siklus yang berputar. Ia menafsirkan sebuah kejadian, merekonstruksi dari banyak kejadian dan untuk akhirnya mendeskontruksi kesimpulan yang dihasilkan untuk mendapatkan sebuah pemahaman yang baru. Tidak ada hal yang 100% benar ataupun 100% salah dalam mempersepsikan sesuatu. Semua adalah tergantung dalam lingkup horizon manusia.
Horizon manusia adalah ruang dan waktu. Horizon manusia tidaklah sesuatu yang terbatas maupun tak terbatas karena ia selalu mengikuti kemana manusia melangkah.