Thursday, July 11, 2019

Payung yang Menjadi Ember

Saat masih mahasiswa, saya pernah menghadiri sebuah acara alumni di luar kota. Acara ini adalah sebuah acara rutin yang digelar oleh tiap-tiap komunitas di bulan suci ramadhan dengan tajuk "Buka Bersama". Alumni yang menjadi host, tentu saja sudah barang tentu adalah alumni yang sudah menduduki posisi yang tinggi di sebuah perusahaan. Jika saya tidak salah, acara "Buka Bersama" tersebut diadakan di rumah dinas perusahaan.

Skip ...

Aniwei, kita tidak akan membahas mengenai seluk beluk acara tersebut lebih lanjut. Tetapi, ada salah satu hal dalam memori saya yang masih terbekas hingga saat ini. Ada salah seorang pembicara pada acara tersebut yang berbicara mengenai rizki. Ia berkata ... Rizki atau rezeki atau kekayaan ibarat hujan. Hujan turun dari atas langit, jatuh ke bumi dan mengenai semua orang yang ada di muka bumi. Intinya, pembicara tersebut seolah ingin berkata bahwa semua orang pasti mendapatkan rejeki dari Tuhan. Namun, yang membedakannya adalah bagaimana manusia menampung air rejeki hujan yang diturunkan oleh Tuhan ke muka bumi. Ada yang hanya memakai ember kecil, ada yang memakai tong, ada yang memakai payungnya sebagai ember untuk menadah air hujan tersebut dan sebagainya. Bahkan ada juga yang cuma memakai tangan kosong, sehingga rejeki itu hanya lewat saja. 

Kesimpulan yang saya ambil adalah rejeki itu adalah sesuatu hal yang melimpah ruah. Semua yang terlahir di dunia ini pasti akan terkena paling tidak cipratannya karena ia merupakan bagian dari dinamika kehidupan dari sebuah sistem besar yang saling mendukung agar bisa berkelanjutan. Namun, rejeki yang diterima orang menjadi berbeda-beda karena bagaimana mereka "menangkap" rejeki.  

Cara berpikir dengan menganggap rejeki bagaikan air hujan adalah salah satu contoh prinsip mentalitas berkelimpahan (abundance mentality). Dan, menurut saya patut untuk dimiliki jika kita ingin hidup dalam jangka waktu yang panjang. Jika kita hanya melihat sesuatu hanya dalam keadaan terbatas, akan tiba suatu saat ketika kita mendapatkan sesuatu yang kita inginkan, namun dengan pengorbanan yang tidak sepadan. Sunk Cost Fallacy.

Apakah kita lebih tertarik dengan bagaimana cara kita memperbesar cawan untuk menangkap air hujan? Jika demikian dimanakah letak mentalitas berkelimpahan itu? Saya ingat sebuah cerita tentang seorang yang mengambil air di sebuah sumur dengan menggunakan timba bocor. Bolak balik ia mengambil air di sumur dan membawanya pulang dengan menggunakan timba bocor. Sesampainya di rumah, air bersisa sedikit karena banyak yang jatuh di perjalanan. Tentu, jika kita melihat hal tersebut adalah sebuah perjalanan yang sia-sia saja. Namun, tanpa kita sadari, tanah yang ia lalui mondar-mandir dalam memikul air menjadi subur karena terkena air yang mengucur keluar lewat bocoran timba.

Perfect is not real. It doesn't exist. Only in our imagination. Menginginkan sebuah hal benar-benar sempurna adalah sesuatu yang tidak nyata dalam hidup. Sempurna adalah sebuah umpan yang mampu membuat kita jungkir balik dalam hidup ini mencarinya, yang tanpa sadar membuat kita terjebak dan mensabotase diri kita sendiri. Maka, menerima sesuatu yang apa adanya sesungguhnya adalah laku mental berkelimpahan. Setelah itu, baru diikuti langkah bagaimana cara memperbesar kapasitas kita dalam menampung limpahan air hujan dari apa yang kita miliki. Jika kita hanya punya payung, kita bisa mengubah payung jadi ember. Manusia otentik adalah ia yang menerima dirinya sendiri seutuhnya dalam lakunya.      

No comments:

Post a Comment