Saturday, July 20, 2019

Survival of The Least Fit

Kita sering menyatakan bahwa sebab-akibat merupakan sebuah hal yang tidak dapat dipisahkan. Sebab pasti akan menyebabkan sebuah akibat. Namun, sebab-akibat merupakan dua kejadian yang sangat berbeda. Misalkan, kita ambil sebuah contoh:

- Kejadian 1: Gelas cangkir jatuh dari atas meja.
- Kejadian 2: Gelas pecah berkeping-keping.

Mudah sekali kita menyimpulkan bahwa gelas yang pecah karena jatuh dari meja. Pikiran manusia bekerja secara efisien dengan membuat sebuah sistem automasi sehingga lewat satu kejadian, kita bisa memproyeksikan apa yang akan terjadi di masa depan. Hal ini tentu saja merupakan bagian dari sistim survival yang dmiliki oleh manusia sejak jaman primitif yang membantu kita untuk bisa bertahan hidup. Contoh lain: makan akan menghilangkan rasa lapar. Padahal kegiatan lapar dan rasa kenyang adalah dua peristiwa yang berbeda. Sifat heuristik dimliki oleh manusia lewat laku hidup yang telah ditumpuk selama bertahun-tahun hidupnya menjadi modal untuk menghadapi apa yang ada di depan. Ia akan membentuk menjadi sebuah kebiasaan dan pada akhirnya tercermin dari perilaku yang ditimbulkan dalam kehdiupan sehari-hari. Pengalaman akan membuat sebuah kebiasaan.

=================================================================

Hal sebagaimana saya diungkapkan diatas merupakan hal yang sudah jamak diketahui oleh banyak orang. Namun, pernahkan kita berpikir mengenai sebuah ketidak-pastian dalam hidup, mengenai keter-acakan sehingga kita tidak lagi menganggap hubungan sebab-akibat menjadi sebuah hal yang berkesatuan, tetapi satu peristiwa yang memiliki ekspektasi tinggi ke peristiwa selanjutnya yang kita projeksikan. Dengan cara seperti ini, kita berusaha untuk menilai sesuatu secara wajar apa adanya.

Kenapa kita harus melakukan yang demikian?

Karena begitulah cara alam bekerja. Kita pikir kita bisa mengetahui segalanya dalam hidup ini. Faktanya banyak sekali hal yang tidak dapat kita ketahui dibanding apa yang kita ketahui. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi 5 menit, 10 menit ke depan. Kita tidak bisa mengetahui apa yang ada di seberang tembok rumah kita. Kita tidak dapat mengetahui apa yang dilakukan oleh anak-istri kita saat kita bekerja. Di dalam hidup, ada sesuatu hal yang dapat kita jangkau dan diluar hal tersebut ada selubung misteri yang tidak akan mampu kita kontrol. Maka, dari itu, kita harus menyediakan ruang untuk keter-acakan ini dalam hidup. Yang bisa kita lakukan adalah memperbesar medan energi agar sesuatu yang kita kehendaki menghampiri diri kita. Jika tidak, kita akan terjebak pada ilusi persepsi yang kita buat, yang akan mengarah ke perilaku yang tidak rasional.

Survival of the least fit

Kita mengenal sebuah peribahasa "What doesn't kill you, make you stronger". Tubuh manusia memiliki pola adaptasi tertentu terhadap lingkungan. Ibarat, jika ia terkena virus, maka akan ada dua akibat: mati atau bertahan hidup. Jika ia mampu bertahan hidup, maka tubuh akan membentuk antibodi dimana virus tersebut akan dimusnahkan dan tubuh menjadi lebih kebal terhadap serangan virus tersebut di kemudian hari. Maka, mereka yang bertahan hidup hanyalah mereka yang sebelumnya terserang malapetaka yang merugikan dari mereka, namun berhasil menghadapinya.

Malapetaka bisa jadi adalah bagian dari keteracakan dalam hidup sebab jika kita berpikir logis, tentu kita tidak menginginkan sesuatu yang buruk terjadi pada diri kita. Ia adalah beban yang kadang harus kita pikul dalam hidup. Namun tiap besaran beban akan mempengaruhi kinerja otot. jika ia terus dilatih, maka otot tubuh tersebut akan membesar dan kuat. 

Malapetaka ini bisa jadi kita cari, dekati dalam hidup kita untuk mengisi rongga yang kosong dalam diri kita. Manusia butuh arti dalam menjalani hidup karena ia diberi kemampuan untuk berpikir yang membedakannya dengan makhluk hewani. Akan tiba suatu masa, ketika manusia mempersoalkan hidupnya dengan sebuah pertanyaan, "apakah hidup yang saya jalani ini, benar-benar layak untuk dijalani ?"  

Thursday, July 11, 2019

Payung yang Menjadi Ember

Saat masih mahasiswa, saya pernah menghadiri sebuah acara alumni di luar kota. Acara ini adalah sebuah acara rutin yang digelar oleh tiap-tiap komunitas di bulan suci ramadhan dengan tajuk "Buka Bersama". Alumni yang menjadi host, tentu saja sudah barang tentu adalah alumni yang sudah menduduki posisi yang tinggi di sebuah perusahaan. Jika saya tidak salah, acara "Buka Bersama" tersebut diadakan di rumah dinas perusahaan.

Skip ...

Aniwei, kita tidak akan membahas mengenai seluk beluk acara tersebut lebih lanjut. Tetapi, ada salah satu hal dalam memori saya yang masih terbekas hingga saat ini. Ada salah seorang pembicara pada acara tersebut yang berbicara mengenai rizki. Ia berkata ... Rizki atau rezeki atau kekayaan ibarat hujan. Hujan turun dari atas langit, jatuh ke bumi dan mengenai semua orang yang ada di muka bumi. Intinya, pembicara tersebut seolah ingin berkata bahwa semua orang pasti mendapatkan rejeki dari Tuhan. Namun, yang membedakannya adalah bagaimana manusia menampung air rejeki hujan yang diturunkan oleh Tuhan ke muka bumi. Ada yang hanya memakai ember kecil, ada yang memakai tong, ada yang memakai payungnya sebagai ember untuk menadah air hujan tersebut dan sebagainya. Bahkan ada juga yang cuma memakai tangan kosong, sehingga rejeki itu hanya lewat saja. 

Kesimpulan yang saya ambil adalah rejeki itu adalah sesuatu hal yang melimpah ruah. Semua yang terlahir di dunia ini pasti akan terkena paling tidak cipratannya karena ia merupakan bagian dari dinamika kehidupan dari sebuah sistem besar yang saling mendukung agar bisa berkelanjutan. Namun, rejeki yang diterima orang menjadi berbeda-beda karena bagaimana mereka "menangkap" rejeki.  

Cara berpikir dengan menganggap rejeki bagaikan air hujan adalah salah satu contoh prinsip mentalitas berkelimpahan (abundance mentality). Dan, menurut saya patut untuk dimiliki jika kita ingin hidup dalam jangka waktu yang panjang. Jika kita hanya melihat sesuatu hanya dalam keadaan terbatas, akan tiba suatu saat ketika kita mendapatkan sesuatu yang kita inginkan, namun dengan pengorbanan yang tidak sepadan. Sunk Cost Fallacy.

Apakah kita lebih tertarik dengan bagaimana cara kita memperbesar cawan untuk menangkap air hujan? Jika demikian dimanakah letak mentalitas berkelimpahan itu? Saya ingat sebuah cerita tentang seorang yang mengambil air di sebuah sumur dengan menggunakan timba bocor. Bolak balik ia mengambil air di sumur dan membawanya pulang dengan menggunakan timba bocor. Sesampainya di rumah, air bersisa sedikit karena banyak yang jatuh di perjalanan. Tentu, jika kita melihat hal tersebut adalah sebuah perjalanan yang sia-sia saja. Namun, tanpa kita sadari, tanah yang ia lalui mondar-mandir dalam memikul air menjadi subur karena terkena air yang mengucur keluar lewat bocoran timba.

Perfect is not real. It doesn't exist. Only in our imagination. Menginginkan sebuah hal benar-benar sempurna adalah sesuatu yang tidak nyata dalam hidup. Sempurna adalah sebuah umpan yang mampu membuat kita jungkir balik dalam hidup ini mencarinya, yang tanpa sadar membuat kita terjebak dan mensabotase diri kita sendiri. Maka, menerima sesuatu yang apa adanya sesungguhnya adalah laku mental berkelimpahan. Setelah itu, baru diikuti langkah bagaimana cara memperbesar kapasitas kita dalam menampung limpahan air hujan dari apa yang kita miliki. Jika kita hanya punya payung, kita bisa mengubah payung jadi ember. Manusia otentik adalah ia yang menerima dirinya sendiri seutuhnya dalam lakunya.