Wednesday, November 29, 2017

Seni Mengenali Diri 5 : Choice, Bagian Akhir

"God may be subtle, but He is not malicious" - Albert Einstein
Pada bagian pertama tulisan ini, kita mencoba untuk mengenali instrumen yang membentuk manusia dalam upayanya untuk mengenali alam ini dan mencukupi kebutuhannya, lewat hati, pikiran dan akal.

Pada bagian kedua, kita diajak untuk mengetahui bahwa logika berpikir bisa saja salah dalam memahami alam semesta ini. Hal inilah yang mendorong manusia mulai dari berjuta-juta tahun yang lalu untuk merangkai sebuah ilmu pengetahuan, mempertanyakan alam ini, menguji dan menelaah apa yang telah diketahuinya sesuai dengan lingkup horizon dari apa yang bisa dia jangkau. Maka, ilmu pengetahuan itu mekar hingga mencapai peradaban seperti saat ini.  Seabad yang lalu, orang menghabiskan berhari-hari hingga berbulan-bulan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Namun, saat ini, kita telah berhasil mengembangkan pesawat yang mampu memindahkan orang hingga dalam hitungan jam.

Pada bagian ketiga, kita mencoba untuk melihat berbagai macam perjalanan hidup seorang manusia. Setiap manusia menjalani kehidupan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Hal ini serta merta akan membuat kepribadian setiap orang juga akan menjadi berbeda-beda. Di tengah kesemuanya itu, satu persamaan yang ingin diungkap oleh sang penulis adalah semua manusia memiliki satu sisi kerinduan dan kemesraan akan satu hal yang sama, yakni rasa ketenangan dalam hidup. Hal inilah yang sekaligus menjawab muara dari segala hal yang coba kita usahakan dalam hidup ini. Rasa ketentraman adalah sebuah kondisi hidup, bisa dirasakan tetapi tak kasat mata. 

Pada bagian keempat, kita diajak untuk memahami bahwa didalam hidup, dalam kaitannya kita bereaksi dengan apa yang ada diluar kita, timbullah sebuah pengalaman. Berbagai macam pengalaman tentu saja akan membentuk persepsi kita akan sesuatu. Hal ini pastilah akan mempengaruhi terhadap segala putusan yang akan kita ambil terhadap sebuah peristiwa. Maka, peristiwa yang sama, akan memberikan respon yang sangat berbeda-beda. Disinilah peran ilmu pengetahuan untuk bisa merespon dengan baik sehingga terhindar dari pembuatan keputusan yang salah, yang akhirnya bisa membuat pandangan kita menjadi bias. Hal ini yang jika dibiarkan bisa mempengaruhi persepsi kita. 

Satu hal paling penting yang dimiliki oleh manusia dalam menghadapi segala sesuatu adalah merasakan adanya sebuah pilihan. Pilihan yang bukan berdasar keinginan. Pilihan yang bukan atas dasar suka atau tidak suka.

Mari kita simak sebuah cuplikan roman karangan Tolstoy yang berjudul "War and Peace"

When an apple has ripened and falls, why does it fall? Because of its attraction to the earth, because its stalk withers, because it is dried by the sun, because it grows heavier, because the wind shakes it, or because the boy standing below wants to eat it?
Nothing is the cause. All this is only the coincidence of conditions in which all vital organic and elemental events occur. And the botanist who finds that the apple falls because the cellular tissue decays and so forth, is equally right with the child who stands under the tree and says the apple fell because he wanted to eat it and prayed for it. Equally right or wrong is he who says that Napoleon went to Moscow because he wanted to, and perished because Alexander desired his destruction, and he who says that an undermined hill weighing a million tons fell because the last labourer struck it for the last time with his pickaxe. In historic events the so-called great men are labels giving names to events, and like labels they have but the smallest connection with the event itself.
Every act of theirs, which appears to them an act of their own will, is in an historical sense involuntary, and is related to the whole course of history and predestined from eternity.

===================================================================

Segala sesuatu yang ada di dunia ini pastilah memiliki sifat. Sesuatu yang khas yang dimiliki. Sifat akan menentukan jenis peristiwa. Diatas, kita mengetahui sebuah peristiwa apel yang jatuh.


Jatuhnya apel bisa merepresentasikan suatu hal yang besar. Bisa juga menyangkut hajat hidup orang banyak. Maka, suatu kejadian itu, banyak orang yang menafsirkannya dengan bermacam-macam hal. Ini akibat latar belakang orang yang berbeda-beda. Ada yang menciptakan teori. Maka, jika teorinya bisa diterima secara logis, ia bisa menjadi ilmu pengetahuan. Ada juga yang mengatakan bahwa apel jatuh karena ia berdoa kepada Sesuatu yang lebih berkuasa terhadap dirinya supaya apel dijatuhkan.

Ketika berbagai macam anggapan tersebut dipertemukan, maka akan terjadi sebuah kebingungan karena setiap orang memiliki anggapan yang berbeda antar satu dengan yang lainnya. Perdebatan akan muncul jika ada yang beranggapan bahwa menurut keyakinannya, ia lebih benar daripada yang lain. Lebih jauh lagi, jika sudah disangkut-pautkan dengan harga diri.

Segala sesuatu yang ada di alam ini, tidaklah peduli ataupun bersifat memaksa kepada manusia. Lihatlah bumi yang selalu bergerak menciptakan siang-malam tanpa suruhan manusia, dan pergerakan siang-malam tidak bisa mempengaruhi manusia apakah ia sudi tidur di malam hari atau tidak. Artinya, segala sesuatu dialam ini hanya bernilai, jika manusia memberikan tegas terhadap sebuah peristiwa. Apel yang jatuh, tidak akan bernilai jika manusia tidak memberikan penafsiran. Lebih jauh lagi, apel tidak akan dianggap apel jika tidak dinilai apel, bisa jadi ia dinilai mangga. Maka, kenapa kita menjadi terfokus pada sebuah peristiwa sampai menguras diri kita jika antara sesuatu yang ada di alam ini dengan manusia sama-sama tidak saling mempengaruhi? Kalaupun ada pengaruhnya, hanyalah sesuatu yang hanya bisa dijangkau. Maka, manusia itu lebih agung dari segala yang ada di dunia ini atas kehendaknya.

Jika apel yang jatuh ini kita nilai adalah keinginan kita, entah disukai maupun tidak disukai. Pada akhirnya, ia akan banyak menyedot perhatian kita. Berbagai macam teori kita hasilkan, doa kita panjatkan. Kita menjadi lupa bahwa disebelahnya, kita luput memperhatikan bahwa ada juga apel yang tidak jatuh. Maka, kita kaget dan heran kalau ternyata ada apel yang tidak jatuh. Ini adalah sebuah pilihan, sesuai sifatnya apel berhak jatuh maupun tidak. Terlalu lama kita menciptakan teori dan berdoa supaya apel jatuh dan terlambat menyadari bahwa jatuh tidaknya apel adalah sebuah pilihan juga. Jika demikian, manusia bisa menganggap jatuhnya apel ataupun tidak sebagai sesuatu yang sewajarnya. Tidak ada rasa takut atau khawatir jika apel tidak jatuh. Maka, hati akan mencapai ketenangannya.

Bagaimanapun, perjalanan manusia adalah bagaikan sebuah siklus yang berputar. Ia menafsirkan sebuah kejadian, merekonstruksi dari banyak kejadian dan untuk akhirnya mendeskontruksi kesimpulan yang dihasilkan untuk mendapatkan sebuah pemahaman yang baru. Tidak ada hal yang 100% benar ataupun 100% salah dalam mempersepsikan sesuatu. Semua adalah tergantung dalam lingkup horizon manusia. Horizon manusia adalah ruang dan waktu. Horizon manusia tidaklah sesuatu yang terbatas maupun tak terbatas karena ia selalu mengikuti kemana manusia melangkah. 

Sunday, November 26, 2017

Seni Mengenali Diri 4 : Cuplikan Novel Edensor - Laki-Laki Zenit dan Nadir

Edensor, novel ketiga dari Tetralogi "Laskar Pelangi" merupakan buah karangan novelis Indonesia Andrea Hirata yang sangat terkenal hingga di berbagai penjuru dunia. Novel ini merupakan novel pertama yang saya baca hingga selesai. 

======================================================================

Jika hidup ini seumpama rel kereta api dalam eksperimen relativitas Einstein, maka pengalaman demi pengalaman yang menggempur kita dari waktu ke waktu adalah cahaya yang melesat-lesat di dalam gerbong di atas rel itu. Relativitasnya berupa seberapa banyak kita dapat mengambil pelajaran dari pengalaman yang melesat-lesat itu. Analogi eksperimen itu tak lain, karena kecepatan cahaya bersifat sama dan absolut, dan waktu relatif tergantung kecepatan gerbong—ini pendapat Einstein—maka pengalaman yang sama dapat menimpa siapa saja, namun sejauh mana, dan secepat apa pengalaman yang sama tadi memberi pelajaran pada seseorang, hasilnya akan berbeda, relatif satu sama lain. 


Banyak orang yang panjang pengalamannya tapi tak kunjung belajar, namun tak jarang pengalaman yang pendek mencerahkan sepanjang hidup. Pengalaman semacam itu bak mutiara dan mutiara dalam hidupku adalah lelaki yang mengutuki hidupnya sendiri, namanya Weh. 

=======================================================================

Kesimpulan yang bisa diambil dari cuplikan novel tersebut adalah apa yang bisa dipelajari dari hidup ini adalah apabila kita bisa mengambil tegas, dari berbagai banyaknya pengalaman yang diibaratkan melesat-lesat bagai cahaya. Jadi, bukan berasal dari banyaknya pengalaman. Maka, orang yang lebih tua belum tentu memiliki kearifan yang lebih tinggi daripada yang lebih muda.

Apa maksud dari pengalaman yang melesat-lesat bagai cahaya? Tentu saja hal ini tidaklah mungkin. 
Tetapi, hal inilah yang terjadi pada manusia. Pengalaman adalah apa yang dialami oleh manusia. Apa yang dialami oleh manusia bisa lewat perasaan dan juga pikiran. 
Coba rasakan dan pikirkan, berapa banyak hal yang telah kita alami hari ini? Ribuan hal bisa dipikirkan oleh manusia tiap harinya. Manusia memiliki lima indera untuk bisa mengidentifikasi sesuatu yang ada disekelilingnya dan pikiran yang membantu untuk bereaksi terhadap sesuatu tersebut. 
Dari ribuan hal tersebut, tidak akan semua hal bisa kita ingat. Coba pikirkan saja, hal apakah yang anda lakukan sebelum bangun tidur hingga saat ini? Tentu tidak akan semua bisa kita ingat. Inilah lesatan-lesatan cahaya itu. Hanya jika kita bisa memberikan tegas dalam hidup ini terhadap sesuatu yang penting, maka kita bisa mendapatkan sebuah pengajaran yang sangat berharga.

Tetapi, apakah hal yang terpenting menurut kita dalam hidup ini ?

Friday, November 24, 2017

Seni Mengenali Diri 3 : Essay - TAK ADA AIR YANG TAK BENING

Essay berikut adalah buah karangan dari Emha Ainun Nadjib dengan judul 
TAK ADA AIR YANG TAK BENING
==============================================================
Kita berdagang, berpolitik, berperang, bergulat, bekerja banting tulang, bikin rumah, bersaing dengan tetangga. Yang tertinggi dari itu semua dan yang paling dirindukan oleh jiwa, adalah “air bening hidup”.
Hidup bagai gelombang samudera. Hidup bergolak. Segala pengalaman perjalanan Anda adalah arus air sungai yang mencari muaranya.
Masa muda melonjak-lonjak. Tapi masa muda berjalan menuju masa senja. Dan masa senja bukanlah lonjakan-lonjakan, melainkan ketenangan dan kebeningan.
Maka, lewat naluri ataupun kesadaran, setiap manusia mengarungi waktu untuk pada akhirnya menemukan “air bening”.
Ada orang yang dipilihkan oleh Tuhan atau memilih sendiri untuk mengembara langsung ke gunung-gunung dan menemukan sumber air murni. 
Orang lain menunggu saja saudaranya pulang dari gunung untuk dikasih secangkir kebeningan. 
Orang yang lain lagi menjumpai dunia adalah kotoran, maka ia ciptakan teknologi untuk menyaring kembali air itu dan menemukan kebeningannya.

Sementara ada orang yang hidupnya menyusur sungai, parit-parit kumuh, got-got, kubangan-kubangan. Sampai akhir hayatnya tak mungkin ia memilih sesuatu yang lain, karena mungkin tak punya kendaraan, tak punya kapal, bahkan tak punya sendal untuk melindungi kakinya dari kotoran-kotoran. Ketidakmungkinan itu mungkin karena memang ‘dipilihkan’ oleh Yang Empunya Nasib, tapi mungkin juga didesak oleh kekuatan-kekuatan zaman yang membuatnya senantiasa terdesak, terpinggir dan tercampak ke got-got.

Bagaimana cara orang terakhir ini menemukan air bening?
Di dalam sembahyangnya, permenungannya, penghayatannya, kecerdasannya serta kepekaan hatinya. Ia tahu tidak ada air yang tak bening.
Semua air itu bening. Tidak ada “air kotor”, melainkan air bening yang dicampuri oleh kotoran.
Dengan menemukan jarak antara kotoran dengan air bening, tahulah ia dan ketemulah ia dengan sumber kebeningannya. Ia terus hidup di got-got, dan justru kotoran-kotoran itu makin menyadarkannya pada keberadaan air bening dalam got-got.
Adakah makna hal itu dalam kehidupan Anda?

Sunday, November 12, 2017

Seni Mengenali Diri 2 : Berpikir, Cepat dan Lambat

Daniel Kahneman yang menjadi rujukan kita merupakan seorang psikolog yang telah dianugerahi nobel pada 2002 lalu di bidang sains ekonomi. Karyanya berkutat pada psikologi manusia yang berhubungan dengan penilaian dan pengambilan keputusan, yang termasuk juga mempelajari ekonomi perilaku. 

Penyelidikan atas perilaku manusia terhadap aspek ekonomi merupakan sebuah hal yang cukup penting karena manusia hidup tidak akan pernah lepas dari kegiatan ekonomi untuk memenuhi kebutuhannya. Manusia bergerak karena memiliki keinginan - dari hal yang paling dasar - yakni untuk mencukupi kebutuhannya.
Jadi, lewat ekonomi perilaku, seorang manusia berusaha untuk memahami dirinya sendiri lewat keputusan yang dibuatnya dalam hal ekonomi menggunakan pendekatan psikologisDalam tulisan sebelumnya, kita kenal dua sistem dalam diri manusia yang merupakan produk penjelasan dari penelitian ini, yakni sistem satu dan sistem dua

Uraian penjelasan berikutnya merupakan hal yang saya sadur dari buku Daniel Kahneman berjudul Thinking, Fast and Slow untuk menjelaskan dua hal tersebut.

Mari kita perhatian gambar dibawah ini :
Apa deskripsi yang terlintas dipikiran anda ketika melihat gambar tersebut?

Saat anda melihat wajah wanita tersebut, anda akan menyimpulkan bahwa wanita tersebut sedang marah. Hal ini didasarkan ketika anda melihat gambar tersebut, pikiran anda akan mencari dalam catatan ingatan rasa anda yang mampu memberikan konteks. 

Lebih jauh lagi, apa yang anda pikirkan bisa memanjang. Anda bisa merasakan bahwa wanita ini ingin berteriak dan memaki. Firasat anda mengenai apa yang akan dilakukan oleh wanita ini datang ke pikiran anda secara otomatis dan tanpa upaya.
Anda sebenarnya tidak bermaksud untuk menilai moodnya, ataupun mengantisipasi apa yang dia lakukan, dan reaksi anda pada gambar tersebut tidaklah memiliki perasaan atas sesuatu yang anda lakukan. Tetapi, hal ini terjadi begitu saja pada anda dalam waktu yang sangat cepat.

Hal ini biasa disebut intuitif thinking. Konteks diperlukan sebagai sebuah tantangan bagaimana anda akan menyikapi suatu keadaan yang merupakan hal primitif yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya yaitu naluri untuk bertahan hidup

Mari kita lihat gambar kedua, 


Manakah dari kedua garis diatas yang memiliki garis horizontal terpanjang?

Gambar diatas merupakan contoh yang sangat bagus. Garis pada bagian bawah dengan jelas lebih panjang daripada garis pada bagian atas. Secara alamiah kita percaya dengan apa yang kita lihat.
Tetapi, anda harus membuktikan jawaban anda benar dengan terlebih dahulu membuktikannya melalui pengukuran dua garis horizontal tersebut menggunakan penggaris. Dan, jawaban yang akan anda peroleh adalah bahwa dua garis tersebut memiliki panjang garis horizontal yang identik.

Maka, setelah anda mengukur garis tersebut, sistem dua anda - sisi kesadaran anda yang disebut "saya" - mempunyai kepercayaan baru bahwa dua garis tersebut memiliki panjang yang sama. Jika ditanya lagi, anda akan memberikan jawaban dari apa yang anda telah tahu sekarang ini. Namun, hal yang sedikit merisaukan, jika melihat gambar garis tersebut sekali lagi, anda masih merasa bahwa garis pada bagian bawah lebih panjang. 

Kesimpulannya, anda telah memilih untuk percaya pada hasil pengukuran, tetapi anda tidak bisa mencegah sistem 1 - sisi intuitif anda, untuk mengerjakan apa yang ia lakukan. 

Untuk bisa melawan ilusi tersebut, satu hal yang bisa kita lakukan adalah belajar untuk tidak mempercayai kesan yang ditimbulkan dari pikiran kita ketika melihat gambar tersebut dengan cara mengenali pola ilusi dan mengingat kembali apa yang kita tahu tentang hal tersebut.

Tidak semua ilusi adalah visual. Ada juga ilusi pikiran, yang kita kenal sebagai cognitive illusions.

bersambung ... 

Saturday, November 4, 2017

Seri Mengenail Diri 1 : Hati, Pikiran dan Akal

Menuliskan tentang manusia adalah menuliskan hal yang tersulit. Seberapa pun kita belajar mengenai manusia masih saja kita bisa gagal dalam memahami manusia. Manusia adalah diri kita sendiri. Maka, belajar mengenai manusia adalah belajar mengenai diri kita sendiri

Apakah bisa kita menuliskan diri sendiri tanpa adanya sebuah hal yang tidak ditutup-tutupi tanpa ada rasa pergolakan batin?

Hidup manusia adalah tentang rasa. Manusia beda dengan hewan. Hewan hanya mengenal rasa senang maupun susah. Namun, manusia selain mengenal rasa senang dan susah juga punya penghayatan atas rasa tersebut yakni derita maupun bahagia. Derita adalah keadaan susah yang ditanggung dalam hati. Hati adalah  sesuatu yang ada di dalam tubuh manusia yang dianggap sebagai tempat segala perasaan batin dan tempat menyimpan pengertian (perasaan dan sebagainya).


Jadi, derita maupun bahagia adalah sebuah keadaan yang khas yang dimiliki oleh manusia karena ia memiliki hati yang merasa/ menghayati. Pikiran menerjemahkan hal ini dan dengan kesadaran yang memahami kebutuhannya maka manusia bertindak. Hal ini merupakan sebuah alat yang digunakan sebagai cara untuk bertahan hidup yang diturunkan dari pendahulunya. Tanpa alat ini manusia tidak akan mampu melestarikan jenisnya. Alat inilah yang mampu memberikan konteks pada sifat hukum alam benda. Misalkan, Api. Api bersifat panas. Panas itu menimbulkan rasa sakit. Maka, manusia tidak akan memegang api. Konteks ini tidak dipunyai oleh hewan. Hewan hanya bertindak atas naluri saja. Seperti contohnya ular yang akan menyerang siapapun yang masuk ke wilayahnya.

Jadi, kronologisnya : niat dari hati yang timbul akibat getaran hidup, jika diperkuat, akan menjadi keinginan yang berpotensi menggerakkan tubuh manusia. Lewat pikiran, manusia akan berusaha untuk mewujudkan setiap keinginannya melalui upaya berpikir secara alamiah sesuai pengetahuan yang dimiliki untuk menggapai apa yang diinginkannya. Di sisi lain, sense atau akal adalah daya pikir kita dalam bagaimana kita memahami terhadap sesuatu. 

Untuk memudahkan, mari kita cocokkan saja istilah pikiran dan akal dengan istilah yang dikembangkan oleh Daniel Kahneman, bahwa pikiran dan akal itu tak lain adalah sistem satu dan sistem dua. Dalam bukunya Thinking Fast and Slow, Daniel Kahneman menerangkan ciri antara dua sistem tersebut :

- Sistem satu bekerja secara otomatis dan cepat, dengan sedikit atau upaya, tidak ada rasa kontrol secara sukarela dan tidaklah terikat dengan realitas hidup.

- Sistem dua membutuhkan perhatian kita untuk bisa bekerja dan membutuhkan aktivitas mental, seperti jika kita menghitung penghitungan yang kompleks. Operasi dari sistem dua ini biasanya aktif ketika berhubungan dengan pengalaman subyektif dari manusia, ketika disodorkan sebuah pilihan dan juga ketika berkonsentrasi pada sesuatu.

bersambung